Jakarta (ANTARA) - Media sosial Indonesia dihebohkan oleh cerita Ismanto, seorang buruh jahit harian lepas di Pekalongan, Jawa Tengah, yang disebut memiliki transaksi pembelian kain senilai Rp2,9 miliar.
Nilai itu muncul dalam data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan mengantarkan petugas KPP Pratama Pekalongan mendatanginya untuk melakukan klarifikasi.
Hasil pemeriksaan awal mengarah pada dugaan penyalahgunaan data pribadi, dimana kemungkinan besar, NIK dan/atau NPWP milik Ismanto digunakan pihak lain untuk keperluan yang tidak ia ketahui. Petugas KPP memastikan kedatangannya adalah bagian dari mekanisme klarifikasi data, bukan penagihan pajak.
Bagi Ismanto dan keluarganya, kabar tersebut tentunya sangat mengejutkan dan memberi tekanan psikologis yang mendalam. Penghasilannya yang jauh dari angka fantastis itu membuat informasi ini mustahil dipercaya.
Namun, di balik kehebohan publik, peristiwa ini menyimpan pelajaran penting: bagaimana prosedur perpajakan bekerja, bagaimana perlindungan data pribadi menjadi kunci, dan mengapa kebijakan perpajakan yang berlaku sesungguhnya sudah memiliki koridor hukum yang jelas untuk melindungi wajib pajak.
Banyak masyarakat awam mengira bahwa ketika petugas pajak datang membawa dokumen dengan nominal besar, itu adalah penagihan. Padahal, dalam prosedur resmi DJP, ada tahap yang disebut SP2DK atau Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan. SP2DK diterbitkan jika sistem DJP menerima data transaksi yang tidak sesuai dengan pelaporan wajib pajak.
Data ini bisa berasal dari bank, penyedia jasa keuangan, atau instansi lainnya, sesuai amanat Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan UU yang mengatur tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).
Kasus ini penting menjadi pembelajaran karena menyentuh tiga hal mendasar dalam hubungan antara negara dan warga terkait pajak, yakni perlindungan data pribadi, kepercayaan publik, dan kepastian hukum.
Pertama, dari sisi perlindungan data, insiden yang menimpa Ismanto menunjukkan betapa rentannya identitas seseorang disalahgunakan dalam transaksi yang tidak ia lakukan. Pajak adalah instrumen negara yang bergantung pada data yang akurat, sehingga kebocoran atau penyalahgunaan data bisa langsung berdampak pada hak dan rasa aman warga negara.
Kedua, kepercayaan publik terhadap otoritas pajak sangat mudah terganggu ketika muncul kabar bahwa seorang tukang jahit dengan penghasilan pas-pasan “ditagih” miliaran rupiah. Walaupun dalam kenyataannya DJP hanya melakukan klarifikasi melalui mekanisme SP2DK, persepsi publik yang keliru bisa membentuk stigma negatif. Kepercayaan adalah modal utama keberhasilan sistem perpajakan yang berbasis self-assessment, di mana warga diminta secara sukarela melaporkan dan membayar pajak.
Ketiga, dari sisi kepastian hukum, kasus ini memperlihatkan bahwa aturan sebenarnya sudah melindungi wajib pajak. Tidak ada penagihan pajak langsung tanpa pemeriksaan dan klarifikasi. Namun, pemahaman publik akan prosedur ini masih rendah, sehingga potensi kesalahpahaman besar.
Kasus Ismanto ini mengingatkan bahwa sinergi antara literasi pajak, edukasi publik, dan sistem deteksi penyalahgunaan identitas harus berjalan beriringan. Jika tidak, kejadian serupa akan berulang, memakan korban baru, dan mengikis legitimasi sistem perpajakan.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.