Liputan6.com, Jakarta Ketua bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, baru-baru ini menyinggung soal peran kecerdasan buatan (AI) dalam melambatnya pertumbuhan pasar tenaga kerja di AS. Hal ini ia sampaikan tak lama setelah The Fed memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan.
Langkah itu diambil sebagai respons atas laporan pekerjaan terbaru yang menunjukkan penambahan lowongan kerja hanya 22.000 pada Agustus 2025. Jumlah ini merosot jauh dibandingkan dengan Juli 2025, yang masih mencatat 79.000 pekerjaan baru.
Mengutip Gizmodo, Jumat (19/9/2025), Powell mendapat pertanyaan mengenai apakah tren pelemahan pasar kerja ini ada kaitannya dengan semakin banyaknya penggunaan AI.
Menanggapi hal itu, ia mengakui masih ada banyak ketidakpastian, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa AI memang menjadi salah satu penyebabnya.
“Bisa jadi perusahaan atau lembaga yang sebelumnya merekrut banyak anak muda lulusan perguruan tinggi, sekarang mulai lebih banyak memanfaatkan AI dibandingkan sebelumnya. Itu mungkin bagian dari cerita yang sedang terjadi,” kata Powell dalam konferensi pers, Rabu kemarin.
Data Penelitian Tunjukkan Dampak Nyata AI
Pernyataan Powell ternyata sejalan dengan sejumlah temuan penelitian yang sudah dipublikasikan sebelumnya. Awal tahun ini, The New York Fed merilis laporan yang menyebutkan bahwa kondisi pasar tenaga kerja untuk usia 22 hingga 27 tahun telah “memburuk secara nyata.”
Hasil serupa juga muncul dari studi yang dilakukan Stanford pada Agustus. Pekerja muda yang baru memulai karier, khususnya mereka yang berusia 22 hingga 25 tahun, menghadapi penurunan kesempatan kerja yang cukup besar.
Kondisi ini terjadi pada bidang-bidang pekerjaan yang dianggap paling rentan digantikan oleh kecerdasan buatan.
Bukti-bukti ini menunjukkan adanya korelasi antara adopsi AI dengan berkurangnya kesempatan bagi para lulusan baru yang hendak memasuki dunia kerja.
Perusahaan Terbuka Pilih AI Dibanding Manusia
Beberapa pemimpin perusahaan besar bahkan sudah terang-terangan menyatakan rencana mereka untuk mengurangi perekrutan karyawan dan beralih ke sistem otomatisasi berbasis AI.
CEO Ford, Jim Farley, misalnya pernah memprediksi bahwa teknologi ini pada akhirnya bisa menggantikan “setengah dari seluruh pekerja kantoran di AS.”
Hal serupa juga terlihat di perusahaan lain. CEO Shopify, Tobias Lütke, menerapkan aturan baru yang cukup ketat bagi para manajer perekrutan.
Sebelum memutuskan untuk membuka posisi pekerjaan, mereka harus lebih dulu menjelaskan alasan mengapa tugas tersebut tidak bisa dilakukan oleh AI.
Bahkan platform freelancer Fiverr baru-baru ini ikut mengambil langkah drastis. Mereka mengumumkan pemutusan hubungan kerja terhadap 250 stafnya, sebagai bagian dari pergeseran besar perusahaan menuju model bisnis yang mengutamakan penggunaan AI.
Kekhawatiran Munculnya 'Generasi yang Hilang'
Tren ini menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan akademisi. John McCarthy, seorang profesor dari Cornell University, bahkan menyebut adanya risiko munculnya “generasi yang hilang” dari angkatan kerja, yaitu mereka yang lulus di tengah masa transisi menuju penggunaan AI secara besar-besaran.
Kekhawatiran itu juga mendorong lebih dari 40 ekonom terkemuka untuk menandatangani sebuah surat terbuka yang ditujukan kepada Sekretaris Tenaga Kerja AS.
Dalam surat tersebut, mereka mendesak agar pemerintah menjadikan pengumpulan data tentang dampak AI di pasar kerja sebagai “prioritas utama.”
Powell sendiri mengakui bahwa The Fed saat ini belum memiliki perangkat atau metode yang memadai untuk benar-benar memahami bagaimana AI mengubah dinamika pasar tenaga kerja.
Hal ini menunjukkan bahwa dunia kebijakan pun masih berusaha mengejar ketertinggalan dalam menghadapi perubahan cepat yang dipicu oleh teknologi baru ini.