London (ANTARA) - Penyelenggara balet dan opera kelas dunia, Royal Opera House telah menarik produksi opera “Tosca” yang dijadwalkan tampil dalam musim 2026 Opera Nasional Israel di Tel Aviv.
Kantor Berita Turki, Anadolu pada Senin (4/8) melaporkan bahwa keputusan tersebut diambil setelah mendapatkan tekanan internal dari para stafnya terkait tindakan genosida yang dilakukan Israel di Gaza.
“Kami telah memutuskan bahwa produksi baru Tosca tidak akan dibawa ke Israel,” kata CEO dari Royal Ballet dan Opera, Alex Beard, menurut pernyataan dari Artists for Palestine UK, yang telah berkomunikasi dengan pihak internal organisasi tersebut.
Keputusan yang disampaikan kepada karyawan Royal Ballet dan Opera pada 1 Agustus ini menandai momen penting dari respons institusional terhadap meningkatnya seruan boikot budaya atas apa yang digambarkan para pekerja sebagai tindakan "genosida" oleh Israel di Gaza.
Opera Nasional Israel sejak itu telah menghapus semua referensi terkait Royal Opera House dari situs webnya.
Pembatalan penampilan tersebut diambil setelah sebuah surat terbuka ditandatangani oleh 182 staf Royal Ballet dan Opera — termasuk penari, musisi, penyanyi, serta staf dari departemen artistik, teknis, dan administratif — yang mengecam sikap diam institusi terhadap tindakan genosida oleh Israel, yang telah menewaskan 60.000 lebih warga Palestina.
“Kami menolak pertunjukan apa pun saat ini maupun di masa depan di Israel,” bunyi surat tersebut.
Baca juga: Gaza: Banyak truk bantuan dijarah karena pembiaran oleh Israel
Para karyawan juga menuntut agar perusahaan tidak memberikan produksi kepada institusi-institusi yang melegitimasi dan mendukung secara ekonomi sebuah negara yang terlibat dalam pembantaian massal warga sipil.
Surat tersebut juga menyatakan solidaritas terhadap seorang penampil yang mengibarkan bendera Palestina di atas panggung dalam apa yang mereka gambarkan sebagai sebuah “tindakan keberanian dan kejelasan moral di atas panggung kami sendiri.”
Meski Royal Opera House belum mengeluarkan pernyataan publik, pengumuman internal kepada staf menunjukkan contoh langka di mana pimpinan institusi budaya besar di Inggris mengambil langkah cepat sebagai respons atas tekanan akar rumput dari dalam organisasinya sendiri.
Protes di Royal Opera House terjadi di tengah gelombang aksi yang lebih luas di sektor budaya Inggris.
Para seniman, penulis, dan pekerja budaya Inggris telah meluncurkan kampanye yang menyerukan boikot, divestasi, dan pernyataan publik dari institusi-institusi terkemuka.
Beberapa kampanye itu menghadapi perlawanan, termasuk sensor atau pencantuman dalam daftar hitam dari para pihak yang tidak suka karena Israel mendapat kritikan.
Menurut Artists for Palestine UK, langkah Royal Opera ini adalah yang pertama dalam levelnya. Belum pernah sebelumnya para pekerja dari salah satu institusi budaya paling bergengsi di Inggris memobilisasi diri dalam jumlah besar terkait krisis politik — dan belum pernah juga manajemen merespons dengan begitu tegas.
Sumber: Anadolu
Baca juga: Saatnya dunia ubah derita jadi kebangkitan baru Palestina
Baca juga: Menlu RI kepada Palestina: Kalian akan selalu kami perjuangkan
Baca juga: Protes diam digelar di Cape Town, kecam kelaparan dan genosida Gaza
Penerjemah: Kuntum Khaira Riswan
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.