
Wamendagri Bima Arya menyebut, pemerintah sudah melakukan kajian terkait putusan MK nomor 135/PUU-XXII/2024. Putusan itu mengamanatkan agar pemilu nasional dan pemilu lokal dipisah dan harus ada jeda waktu.
Bima mengungkapkan, pengkajian mendalam dilakukan agar implementasi putusan tersebut tidak hanya berlaku sesaat dan hanya menyasar golongan tertentu saja.
“Memang yang perlu kita pastikan adalah jangan sampai kemudian proses revisi undang-undang ini lebih kental terhadap kepentingan jangka pendek atau kepentingan partisan,” ujar Bima dalam acara diskusi yang digelar oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN UI) secara virtual pada Minggu (27/7).

Putusan MK itu akan mulai berlaku 2029. Pemilu nasional meliputi pemilihan presiden, pemilihan DPR, dan pemilihan DPD digelar. Sedangkan Pemilu lokal meliputi pemilihan DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur-wakil gubernur, dan wali kota-wakil wali kota serta bupati-wakil bupati.
Namun Pemilu lokal dilakukan paling lambat 2 tahun atau 2,5 tahun setelah presiden dan wakil presiden dilantik.
Eks Wali Kota Bogor itu menilai, dalam setiap keputusan politik, pasti akan ada yang senang dan tidak senang. Oleh karena itu, pembahasan putusan MK yang akan dituangkan dalam bentuk undang-undang ini harus melalui pembahasan yang menyeluruh.
“Setiap keputusan politik pasti ada yang diuntungkan atau dirugikan. Tapi yang ingin saya sampaikan adalah mari kita tarik dalam konteks yang lebih besar daripada sekadar perjuangan untuk kepentingan partisan atau jangka pendek," tambah dia.

Lebih lanjut, Bima mengatakan, pentingnya penyusunan pelembagaan politik serta penguatan dalam hal legislasi.
“Kita sejak reformasi biar untuk menguatkan multi-partai sederhana sekali lagi, multipartai sederhana yang disandingkan dengan sistem presidensial. Ini pun belum tuntas. Kenapa? Ya karena undang-undang kepresidenan pun belum ada. Agak ajaib, menurut saya,” tuturnya.
“Kita mengalami sistem presidensial tetapi tidak ada undang-undang kepresidenan undang-undang tentang DPR ada. MD3 ada segala macam, tapi presiden tidak ada. Ini kan harus jelas batasannya apa, kewenangannya apa dan racikannya,” tandasnya.