Liputan6.com, Jakarta - Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) semakin membawa perubahan besar di dunia medis. Teknologi ini membuka peluang untuk mempercepat diagnosis dan memperluas akses layanan kesehatan, termasuk di wilayah yang sulit dijangkau.
Kepala Pengujian Produk Ipsos Global, Dr. Nikolai Reynolds mengatakan bahwa dokter dan tenaga medis yang memanfaatkan AI terbukti lebih berhasil dalam pekerjaannya dibandingkan yang tidak menggunakannya.
"Dokter yang menggunakan AI jauh lebih sukses. Banyak yang memanfaatkannya untuk mengidentifikasi kanker kulit dengan lebih efektif," kata Nikolai menjawab pertanyaan Health Liputan6.com di diskusi AI-Driven Innovation: Unlocking New Horizon pada Selasa, 12 Agustus 2025.
Dia, menekankan, kombinasi antara manusia dan AI adalah kunci. AI ibarat mesin, sementara manusia adalah bahan bakarnya. "Keduanya saling melengkapi untuk menghasilkan hasil terbaik," tambahnya.
AI saat ini sudah menunjukkan bukti nyata di bidang diagnostik. Teknologi ini membantu dokter mendeteksi kanker kulit, kanker payudara, hingga tumor dengan tingkat akurasi yang tinggi.
Manfaat AI di Bidang Medis
Direktur Inovasi dan Strategi Ipsos Indonesia, Karthik Narayan, menambahkan, AI mampu mempercepat proses skrining dan deteksi dini penyakit.
"Kehadiran AI sangat membantu, misalnya untuk memeriksa lebih awal apakah pasien memiliki tumor, kanker, atau gumpalan darah," kata Karthik.
Lebih jauh, AI juga dapat menjadi solusi bagi masalah akses kesehatan di daerah terpencil. Teknologi ini memungkinkan konsultasi jarak jauh tanpa harus melakukan perjalanan panjang yang memakan waktu dan biaya.
"AI bisa diakses di setiap daerah, bahkan yang terpencil, di mana kualitas layanan kesehatan masih minim. Di negara seperti Indonesia, ini sangat relevan," ujar Karthik.
Meski demikian, para ahli mengingatkan agar tidak sepenuhnya mengandalkan AI dalam pengambilan keputusan medis.
Sistem AI, terutama yang berbasis percakapan, sering kali dirancang untuk memberi jawaban yang terdengar meyakinkan, meski belum tentu akurat.
"Seringkali chatbot bersikap positif dan memudahkan Anda, tapi itu tidak cukup. AI bisa saja memberi jawaban yang terlalu optimis atau bahkan menyesatkan tanpa data memadai. Fenomena ini disebut hallucination," ujar Nikolai.
Risiko Penggunaan AI di Bidang Kesehatan
AI memang bisa membantu menggambarkan gejala, tetapi tidak dapat menggantikan pemeriksaan fisik penting seperti tes darah atau rontgen.
"Keputusan medis harus tetap di tangan tenaga medis terlatih, dengan dukungan berbagai tes," ujarnya.
Indonesia, dengan ribuan pulau dan banyak daerah yang minim akses kesehatan, memiliki tantangan tersendiri.
Karthik menyoroti masih adanya warga yang harus menyeberang pulau hanya untuk mendapatkan layanan medis.
Dalam konteks ini, AI menawarkan solusi nyata. Membantu dokter menjangkau wilayah yang sulit diakses, memproses data medis dalam jumlah besar, dan mendukung deteksi dini penyakit.
Namun, semua itu tetap memerlukan pengawasan manusia. "Sekali lagi, kombinasi kecerdasan manusia dan kecerdasan buatan adalah pilihan terbaik," pungkas Nikolai.