
OBSESI untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi 8% agar Indonesia keluar dari middle income trap (MIT) masih terasa berat. Indonesia telah terjebak sebagai negara berpendapatan menengah selama 32 tahun. Indonesia naik kelas pertama kali masuk kategori negara berpendapatan menengah-bawah (lower-middle income) sejak 1993 walau terdisrupsi krisis ekonomi Asia pada 1998.
Kemudian, Indonesia naik kelas lagi dan masuk negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income) sejak 2019 walau terdisrupsi pada 2020 karena covid-19. Status berada dalam kategori negara kelas menegah itu tampaknya masih cukup lama karena standar pendapatan negara maju terus naik, hingga setara US$14 ribu per kapita. Dengan kondisi pendapatan Rp78,62 juta saat ini, atau setara US$4.960 per kapita, pekerjaan rumah untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah itu tentu sangat besar.
Sebagaimana banyak diberitakan, kinerja ekonomi Indonesia pada triwulan 2 2025 (Q2 2025) tumbuh 5,12%, sedikit lebih tinggi daripada Q2 2024 yang tumbuh 5,054%. Kontributor pertumbuhan ekonomi pada Q2 2025 ialah konsumsi masyarakat 2,64% dan investasi baru atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 2,06%.
Akan tetapi, sektor pertanian pada Q2 2025 tumbuh rendah 1,65%, atau terlalu berat untuk diharapkan berkontribusi pada target-target pertumbuhan ekonomi. Subsektor tanaman pangan ternyata mengalami kontraksi atau tumbuh negatif 6,01%, apalagi kontroversi kinerja ekonomi beras telah mewarnai diskusi publik.
Pemerintah telah menempuh beberapa upaya untuk melepaskan diri dari jebakan kelas menengah itu, salah satunya dengan percepatan hilirisasi, termasuk hilirisasi produk pertanian. Artikel ini membahas tantangan hilirisasi pertanian, yang ternyata tidak sederhana karena harus menghubungkan kebijakan di sektor hulu, sektor tengah, dan sektor hilir, yang tentu melibatkan banyak pengampu kepentingan (stakeholder).
Pendalaman kasus untuk industri berbasis kelapa sawit, kelapa dalam, dan pala akan memperoleh pembahasan khusus. Penutup artikel ini ialah rekomendasi kebijakan percepatan kebijakan hilirisasi tersebut.
HARAPAN PADA SATGAS HILIRISASI
Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional. Satgas Hilirisasi dipimpin Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dibantu enam wakil ketua, yaitu Menteri Investasi, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri Sekretaris Negara.
Satgas Hiliriasi diharapkan mampu mendorong peningkatan koordinasi perumusan kebijakan dan regulasi dengan K/L dan/atau pemerintah daerah, memetakan, mengusulkan, dan menetapkan wilayah usaha yang memiliki potensi percepatan hilirisasi dan ketahanan energi nasional, memutuskan secara cepat permasalahan dan hambatan (debottlenecking), melaksanakan percepatan penyelesaian masalah hukum, dan memberikan rekomendasi percepatan hilirisasi.
Satgas Hilirisasi telah memutuskan 18 prioritas percepatan hilirisasi komoditas, enam di antaranya dalam bidang pertanian dalam arti luas, yaitu kelapa sawit, kelapa dalam, dan pala di sektor perkebunan dan tuna-cakalang-tongkol (TCT), rumput laut, dan garam di sektor perikanan. Enam komoditas tersebut dapat ditingkatkan nilai tambahnya untuk dijadikan produk pangan, termasuk pangan fungsional, serta dijadikan produk energi alternatif. Secara singkat, berikut dijelaskan tiga komoditas penting.
Kelapa sawit: Indonesia masih merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia dan berkontribusi sekitar 48% dari total produksi minyak sawit global. Luas area kelapa sawit pada 2024 tercatat 16,5 juta hektare, dengan produksi minyak sawit mentah (CPO) mencapai 51,3 juta ton. Minyak sawit menghasilkan minyak nabati paling efisien di dunia jika dibandingkan dengan minyak nabati lain, seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan minyak rapa.
Selama dekade terakhir, Indonesia secara sistematis telah mendorong dan mengembangkan bioenergy sebagai salah satu komitmen melaksanakan kebijakan transisi energi.
Pada 2025 Indonesia telah memutuskan untuk menempuh kebijakan B-40, termasuk melalui subsidi kepada industri bahan bakar nabati (BBN). Dampak jangka pendek dari kebijakan B-40 tersebut adalah harga CPO dan produk turunan minyak goreng dan olekimia lain menjadi naik secara signifikan. Tingkat konsumsi minyak sawit sebagai pangan tumbuh 5% per tahun, konsumsi sebagai oleokimia tumbuh 10% per tahun, dan konsumsi sebagai biodiesel tambuh 48% per tahun. Indonesia mengadopsi sertifikasi berkelanjutan: yang diprakarsai komunitas global (RSPO dan ISCC, yang bersifat sukarela) dan diprakarsai pemerintah Indonesia (ISPO, yang bersifat wajib) walau masih lambat.
Pengembangan hilirisasi sawit diarahkan untuk melakukan diversifikasi industri dan produk hilir andalan, khususnya pangan fungsional berupa oleokimian, fatty acid, vitamin A, dan vitamin E, dan lain-lain. Prasyarat untuk melalukan percepatan pembangunan atau debottlenecking untuk menjamin kontinuitas dan kepastian suplai bahan baku ialah reforma total replanting atau peremajaan sawit rakyat, peningkatan status legal-formal lahan, terutama yang belum memimiliki status clear and clean untuk dilakukan peremajaan sawit rakat (PSR).
Kelapa dalam: Pada 2024, luas area kelapa dalam sekitar 3,5 juta ton yang tersebar di hampir setiap provinsi yang memiliki garis pantai di Indonesia. Produksi kelapa dalam pada 2024 diperkirakan mencapai 3 juta ton, mengalami sedikit penurunan jika dibandingkan dengan produksi 2023 yang mencapai 3,1 juta ton.
Tren penurunan produksi kelapa dalam diperkirakan terus terjadi pada 2025 ini. Ekspor kopra sebagai turunan dari kelapa dalam cukup rendah, hanya beberapa puluh ribu ton, sangat kontras jika dibandingkan dengan kelapa sawit yang mendapat perhatian memadai. Kelapa dalam hampir seluruhnya diusahakan petani atau pekebun kecil sehingga produktivitas kelapa hanya berkisar 5 ton/ha dan nyaris tidak berubah selama beberapa tahun terakhir.
Pemerintah saat ini sedang mengembangkan investasi industri pangan pangan fungsional untuk menghasilkan medium-chain trigeliseride, tepung kelapa, energi terbarukan, khususnya bioavtur untuk bahan bakar pesawat.
Langkah yang perlu diambil ialah peningkatan produktivitas, peremajaan atau revitalisasi perkebunan kelapa, pengembangan kelapa hibrida, dan lain-lain perlu menjadi kebijakan prioritas dalam jangka menengah ke depan. Misalnya, pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung dan KEK Gresik ditugasi sebagai ujung tombak dalam pengembangan industri pangan fungsional berbasis kelapa dalam.
Pala: Pada 2024 produksi pala rendah, hanya 42.770 ton, hampir seluruhnya dihasilkan dari kebun rakyat. Luas kebun pala tercatat 302.230 hektare sebagian besar di Indonesia Timur, seperti Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, hampir seluruh Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur.
Di Indonesia Barat, kebun pala mudah ditemukan di Aceh, Sumatra Barat, dan Jawa Barat. Pengusahaan kebun pala di Indonesia masih tradisional, nyaris tidak terdapat sentuhan teknologi modern, teknik budi daya alami, dibiarkan tumbuh sendiri, untuk dipanen pada saat buah pala telah matang.
Hilirisasi memerlukan pasokan biji pala yang kontinu dengan persyaratan kepastian kuantitas dan kualitas produk yang terjamin. Hal itu dimaksudnya untuk mencapai kapasitas produksi yang memadai dengan skala usaha produksi hilir pala yang menguntungkan dan efisien.
Sekitar 23.700 ton biji pala diekspor ke mancanegara yang memberikan devisa sebesar US$173.673 pada 2023. Peningkatan produksi dan produktivitas buah pala yang lebih sistematis akan meningkatkan penghasilan petani pala dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi wilayah, khususnya di kawasan timur Indonesia (KTI).
Manfaat pala tentu sangat besar dan beragam sebagai salah satu rempah unggulan Nusantara sesuatu yang sangat dicari para penjajah sejak abad ke-17. Tujuh manfaat buah pala yang telah diketahui masyarakat ialah (1) meningkatkan kerja otak, (2) meredakan nyeri sakit, (3) meredakan gangguan pencernanaan, (4) mengatasi bau mulut, (5) membantu detoksifikasi hati dan ginjal, (6) membantu perawatan kulit, dan (7) mengatasi insomnia.
Manfaat buah pala sebagai pangan fungsional lebih menonjol jika dibandingkan dengan manfaat sebagai bioenergi. Hilirisasi pala diarahkan untuk menghasilkan produk turunan yang bernilai tambah tinggi, yaitu sebagai bahan baku farmasi, aroma terapi, bahkan sebagai makan ringan (snack) eksotis atau sebagai bahan pendukung industri makanan dan minuman, baik skala kecil, maupun skala menengah-besar.
REKOMENDASI KEBI...