
Angin pagi Rinjani menyapa wajah saya dengan sejuk yang menusuk. Embun masih menggantung di dedaunan dan kabut tipis menari-nari di kaki langit. Pagi di awal Juli ini saya termenung menatap gagahnya Gunung Rinjani. Di titik ini, saya tersadar: pendakian bukanlah tentang menaklukkan gunung, melainkan tentang menaklukkan diri sendiri.
Beberapa tahun terakhir, pendakian gunung seolah menjadi tren. Feed media sosial dibanjiri foto-foto di puncak, disertai kutipan bijak yang kadang terdengar terlalu dipaksakan. Sayangnya, esensi dari pendakian justru sering tersesat di antara likes dan komentar. Padahal, sejatinya, mendaki adalah sebuah perjalanan batin, tempat kita bertemu dengan diri sendiri, menelusuri kembali makna hidup yang perlahan-lahan mulai kabur dalam hiruk pikuk dunia.
Gunung dan Jalan Kehidupan
Setiap jalur pendakian adalah miniatur kehidupan. Tanjakan yang menguras tenaga, jalan setapak yang licin, jurang di kiri-kanan, dan persimpangan yang membuat kita ragu untuk memilih langkah, semuanya adalah cermin dari dunia nyata yang kita jalani setiap hari.
Dalam dunia kerja, kita juga kerap melalui jalanan terjal. Target yang berat, tekanan dari atasan, rekan kerja yang tak selalu mendukung, bahkan kegagalan demi kegagalan, itu semua seperti batu kerikil dan lumpur di jalur pendakian. Kita terperosok, jatuh, mungkin terluka, tapi tetap harus berdiri dan melanjutkan langkah.
Tak jarang kita ingin menyerah. Lutut lelah, napas memburu, dan pikiran mulai diliputi keraguan. Namun suara alam terus memanggil, mengingatkan bahwa setiap langkah, betapa pun beratnya, akan membawa kita lebih dekat ke puncak.
Puncak dan Kebahagiaan Sementara
Ketika akhirnya kaki menginjak puncak, semua rasa lelah seperti lenyap seketika. Mata kita disuguhi lanskap luar biasa yang tak bisa dilukiskan kata-kata. Inilah momen yang membuat semua perjuangan terbayar lunas. Seperti dalam hidup, ketika kerja keras kita berbuah hasil: promosi jabatan, pencapaian mimpi, atau penghargaan dari orang lain.
Namun, seperti halnya di gunung, puncak bukanlah akhir dari perjalanan. Justru di sinilah tantangan baru dimulai: bagaimana kita bisa turun kembali dengan selamat. Terlalu banyak kisah tragis dari mereka yang gagal kembali karena terlalu terlena di puncak.
Ini menjadi pengingat bahwa dalam kehidupan pun, pencapaian tertinggi bukanlah tempat kita berhenti. Jabatan, kekayaan, atau popularitas bukanlah puncak abadi. Kita tetap harus menjaga diri, tetap rendah hati, dan bersiap menghadapi fase berikutnya dari kehidupan.
Bukan Tentang Gaya, Tapi Makna

Sayangnya, semangat mendaki kini sering kali berubah arah. Banyak yang menjadikan pendakian hanya sebagai ajang pamer. Foto-foto di puncak, caption penuh semangat, tapi lupa membersihkan sampah sendiri atau bahkan tak tahu nama gunung yang didaki.
Pendaki sejati bukanlah mereka yang sibuk menghitung jumlah puncak yang telah ditaklukkan, melainkan yang mampu memetik pelajaran hidup dari setiap tapak langkahnya. Mereka tahu bahwa gunung tidak pernah bisa ditaklukkan. Yang bisa ditaklukkan hanyalah ego dan rasa sombong dalam diri.
Rinjani, seperti juga gunung-gunung lain di negeri ini, bukanlah panggung untuk eksistensi digital. Ia adalah tempat sakral, tempat kita berdamai dengan diri, alam, dan semesta.
Sebuah Refleksi
Dari Rinjani, saya belajar bahwa hidup adalah proses panjang. Tidak semua harus instan. Tidak semua harus terlihat oleh dunia. Ada nilai-nilai yang justru tumbuh dalam kesunyian. Dalam diam kita menahan lelah, dalam sunyi kita belajar sabar, dan dalam dingin kita menemukan hangatnya harapan.
Mendaki adalah cara untuk kembali ke dalam diri. Sebuah dialog sunyi yang tidak bisa dibagikan ke media sosial. Sebab tidak semua perjalanan harus diketahui orang lain. Beberapa cukup dirasakan, direnungkan, dan dijadikan pegangan hidup.
Ketika kelak saya menuruni Rinjani, saya tahu bahwa saya tidak membawa pulang sekadar foto atau cerita hebat. Saya membawa pulang versi diri yang lebih kuat, lebih sadar, dan lebih utuh. Gunung tidak pernah menjanjikan kemewahan, tapi ia selalu memberi pelajaran kehidupan yang paling murni.
Jadi, jika kamu berniat mendaki gunung, tanyakan dulu pada dirimu: apakah kamu ingin mencari jati diri, atau sekadar mengejar eksistensi? Sebab gunung bukan panggung untuk pamer, tapi cermin untuk melihat siapa sebenarnya diri kita.