Rojali dan Rohana beberapa waktu terakhir menjadi duet yang kerap dibicarakan warganet di berbagai platform media sosial. Tentu saja pasangan ini bukan merujuk pada nama orang, melainkan sebuah akronim. Rojali sering diartikan sebagai "rombongan jarang beli" sedangkan rohana berarti "rombongan hanya nanya".
Istilah tersebut sebenarnya mirip dengan window shopping yang sudah lama dikenal publik. Perilaku seseorang yang memilih untuk hanya melihat-lihat barang di etalase sebuah toko, tanpa intensi untuk melakukan transaksi.
Media dan pengamat ekonomi melihat fenomena ini dipicu oleh menurunnya daya beli masyarakat karena gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai tempat. Sedangkan di sisi lain, ruang publik yang aman, nyaman dan murah--bahkan gratis--, belum tersedia cukup memadai, baik secara jumlah maupun kualitas.
Beberapa juga melihat fenomena ini sebagai bukti adanya perubahan gaya hidup masyarakat dalam melakukan konsumsi barang dan jasa. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonsus Widjaja, mengakui bahwa fenomena rojali dan rohana ini berimbas pada penurunan omzet pusat perbelanjaan di Indonesia (Christabel, 2025).
Seperti diketahui, sejak beberapa tahun terakhir, tren peningkatan e-dagang terus mengalami peningkatan. Statista.com (2025) memprediksi pada tahun 2029, jumlah pengguna aplikasi e-dagang di Indonesia akan mencapai hampir 100 juta orang. Peningkatan transaksi tersebut karena e-dagang menawarkan beberapa kelebihan, antara lain kemudahan dalam berbelanja tanpa harus meluangkan waktu untuk berpergian ke toko fisik, murahnya biaya kirim, harga yang lebih murah, lebih banyak pilihan produk, dan mudahnya melakukan pengembalian barang (Kartikawati, 2023).
Selain itu, saat ini belanja melalui e-dagang juga memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah secara sinkron dengan menggunakan fitur siaran langsung (live) yang hampir digunakan oleh banyak penjual di semua platform e-dagang populer di Indonesia. Komunikasi dua arah sinkron ini memungkinkan terbentuknya kepercayaan dan persepsi karena adanya komunikasi interpersonal.
Konsumen menjadi semakin kuat persepsinya atas kualitas produk karena adanya interaktivitas dan kehadiran virtual berbasis computer mediated communication (Mero, 2017). Komunikasi interpersonal ini juga mengatasi kecanggungan konsumen e-dagang yang tidak bisa menyentuh produk layaknya transaksi konvensional melalui toko fisik.
Fenomena rojali dan rohana ini juga bisa diarahkan pada perilaku bermedia sosial masyarakat Indonesia saat ini. Media sosial bukan hanya berperan sebagai "panggung depan" seseorang seperti yang dijelaskan Erving Goffman (1959) melalui teori dramaturginya.
Derasnya arus disinformasi di media sosial membuat sebagian warganet melihat social networking sites (SNS) mulai mengalami degradasi. Media sosial bukan lagi menjadi ruang aman berdemokrasi untuk saling terhubung satu sama lain. Misalnya kejadian pada akhir 2024, yang ditandai dengan maraknya beberapa media dan tokoh yang memutuskan berhenti menggunakan X (d.h. Twitter). Keputusan tersebut diambil karena X dianggap menjadi salah satu tempat menyebarnya ujaran kebencian, disinformasi dan misinformasi (Anwar, 2024).
Rentannya seseorang terhadap paparan negatif, membuat warganet merasa bahwa media sosial bukan lagi menjadi tempat yang aman untuk mengekspresikan diri. Di sisi lain, pusat perbelanjaan modern (mal) hadir menjadi solusi alternatif. Secara infrastruktur, mal menawarkan fasilitas yang memadai, seperti area parkir yang relatif aman dan nyaman, pendingin udara di seluruh area publik, pencahayaan yang terang dan menarik, fasilitas toilet yang gratis dan bersih.
Secara sosial, mal juga cukup inklusif bagi semua kelas sosial ekonomi masyarakat karena tidak adanya persyaratan maupun tarif khusus untuk masuk ke mal. Di lain sisi, ruang publik yang disediakan pemerintah cenderung minim, dan jika ada, ruang publik tersebut belum tentu memberikan rasa nyaman dan aman yang setara dengan mal. Dengan demikian, interaksi interpersonal, kelompok dan atau simbolik masyarakat menjadi tumbuh dan berkembang di mal.
Bisa dilihat beberapa mal di Jakarta ataupun daerah lain yang mengusung konsep komunitas. Mal membuka kesempatan beberapa komunitas atau sekolah untuk menampilkan pertunjukan seni dan budaya di atas panggung.
Gaya dan ekspresi masyarakat bisa jadi lebih banyak ditampilkan pada ritual kunjungan ke mal, dibandingkan media sosial yang dinilai semakin toksik (Anwar, 2024). Rojali dan rohana menjamur di mal bukan hanya k...