TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) Heronimus Heron mengatakan pemerintah Kota Padang berkewajiban melindungi hak beragama dan beribadah umat beragama, termasuk saat umat beragama melaksanakan kegiatan pengamalan dan pengajaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal itu tertuang dalam Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945; serta Pasal 4, Pasal 22 ayat (1) dan (2), dan Pasal 55 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Heron menyampaikan kebebasan untuk mengamalkan dan melakukan pengajaran agama merupakan kebebasan internal (forum internum) umat beragama yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. “Pemerintah Kota Padang maupun setiap individu harus menghormatinya,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Selasa, 29 Juli 2025.
Heron juga menyebut penyerangan terhadap jemaat GKSI Anugerah Padang sebagai bentuk pelecehan terhadap hak asasi manusia.
Peneliti Pusham UII Sahid Hadi mengatakan peristiwa konflik berbasis agama tersebut menunjukkan kegagalan pemerintah daerah dalam melindungi kebebasan beragama. “Regulasi, kebijakan, dan program di level pemerintah daerah selama ini berarti tidak mampu merekayasa kehidupan masyarakat yang saling menghormati keragaman dalam kesetaraan,” ujarnya.
Sahid juga menekankan pentingnya respons pemerintah daerah untuk memulihkan hak jemaat GKSI. Ia mengingatkan mediasi yang saat ini dijalankan oleh pemerintah dan aparat tidak boleh dijadikan alat untuk menekan jemaat minoritas. “Langkah mediasi tidak boleh membuat jemaat merasa ragu atau tidak leluasa dalam memanifestasikan keyakinannya di masa mendatang,” ujarnya.
“Penyerangan dan pembubaran kegiatan pembinaan iman jemaat GKSI Anugerah Padang yang dilakukan oleh sekelompok orang telah melecehkan hak asasi manusia,” kata dia.
Sebelumnya, video viral tentang pelarangan ibadah ini viral di media sosial. Tampak sekelompok orang mendatangi warga yang tengah beribadah dan membubarkanya. Terlihat pula anak-anak kecil yang menangis.
Pemimpin Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) cabang Padang Sarai Pendeta F Dachi mengatakan dirinya masih terbayang peristiwa yang terjadi pada Ahad 27 Juli 2025 lalu. Ia pun mengatakan trauma dengan peristiwa penyerangan itu. "Saya trauma dan anak-anak trauma," kata Dachi.
Selama enam tahun, Dachi mengajar agama dengan berpindah dari rumah ke rumah. Gereja induk GKSI berada di Jalan R Hakim Nomor 29, Padang. Namun, jarak yang jauh membuat anak-anak di Padang Sarai sulit menjangkau gereja utama.
Dachi kemudian mengumpulkan dana sedikit demi sedikit untuk mendirikan rumah doa. "Karena binaan pendidikan agama tidak terjangkau mereka ke gereja, saya buatlah tempat mereka. Sebab mereka butuh nilai agama di sekolah," ujarnya.
Sebelum mendirikan bangunan, Dachi melaporkan rencana tersebut kepada ketua RT setempat. "RT responsnya sangat baik," katanya. Rumah doa pun berdiri di RT 03 RW 09, Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah.
Masalah muncul Sabtu malam, 26 Juli. Dachi menerima pesan WhatsApp dari warga yang menyebut bangunannya sebagai gereja. "Mereka bilang itu gereja. Mereka rapat ini dan sebagainya. Ada niat untuk menyampaikan itu ke kapolsek dan camat," tuturnya.
Dachi heran dengan tuduhan tersebut. "Bagaimana kita lapor kalau tak terjadi bohong," katanya. Dia sempat meminta RT mencegah keributan yang mungkin timbul. "Saya ngomong ke RT jangan sampai ada keributan. Saya bilang Sumbar tinggi toleransi."
Pada Ahad pagi, sekelompok warga datang ke rumah doa saat kegiatan ibadah berlangsung. Mereka meminta RW membubarkan kegiatan tersebut. "Ada yang mengatakan bubarkan tempat itu, pak RW. Terjadi keributan," kata Dachi.
Wakil Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat Brigadir Jenderal Solihin mengatakan polisi telah menangkap 9 orang dalam peristiwa tersebut. Jumlah itu bisa saja terus bertambah apabila nantinya ditemukan bukti keterlibatan pelaku lainnya.
"Percayalah, polisi akan menindaklanjuti kasus ini dan tidak boleh ada di Sumatera Barat ini yang main hakim sendiri," kata Solihi.