
Komisi III DPR meminta pandangan pakar untuk menyikapi adanya putusan MK No. 135 Tahun 2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan lokal. Sempat muncul pertanyaan dari anggota Komisi III apakah bisa tidak menjalankan putusan itu.
Anggota MPR 1999-2004 Valina Singka Subekti menilai, sebenarnya sejauh ini ada 3 putusan MK yang lahir terkait dengan penyelenggaraan pemilu. Dia menilai, bisa saja memilih putusan MK yang tidak melanggar UUD 1945.
"Ada 3 putusan MK yang bisa jadi rujukan untuk memilih salah satu dari 3 itu, yang tentunya itu yang selaras dengan apa yang dikehendaki konstitusi," kata Valina di ruang rapat Komisi III DPR, Jakarta, Jumat (4/7).

Ketiga putusan itu, yakni putusan MK No. 14 Tahun 2013 tentang Pemilu Serentak legislatif dan presiden-wakil presiden serentak. Putusan ini sudah dipraktikkan dalam Pemilu 2019 dan Pemilu 2024.
Kedua, putusan MK No. 55 Tahun 2019 mengenai desain model keserentakan pemilu. Ada 6 opsi dalam putusan. Dalam putusan itu pula, MK menyerahkan pembentuk undang-undang untuk memilih satu dari 6 model yang tersedia.
Terakhir, putusan MK No. 135 Tahun 2024 tentang Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal. Valina menilai, ini sangat berbeda dengan putusan MK sebelumnya. Di sini MK malah memilih satu dari 6 opsi model pemilu, padahal sebelumnya menyerahkan pada pembuat undang-undang.

Hal serupa juga disampaikan mantan hakim MK Patrialis Akbar. Patrialis menilai, bisa saja memilih satu dari 3 putusan MK untuk menentukan model Pemilu 2029.
"Putusan MK itu juga enggak bisa dibatalkan oleh MK. Kalau dibatalkan MK, berarti kredibilitas hakim masa lalu enggak dijamin," ujar dia.
Eks koruptor kasus suap perkara di MK itu menilai, bisa saja pemerintah dan DPR menggunakan 2 putusan MK yang selama ini sudah berjalan dan sudah menghasilkan produk konstitusional.
"Sebaiknya kita bisa memberikan ukuran kira-kira putusan MK yang bisa kita jalani putusan yang sesuai konstitusi atau tidak," tambah politikus Hanura itu.
Bagi dia, DPR dan pemerintah juga diisi orang-orang cerdas dan bisa menimbang dan memilah mana yang bisa jadi rujukan dalam menjalankan undang-undang.
"Karena tidak ada juga kewajiban untuk melaksanakan suatu putusan yang tidak sesuai konstitusi tapi prinsipnya putusan MK itu final," kata dia.

Di sisi lain, advokat yang juga politikus Partai NasDem, Taufik Basari, mengatakan hanya ada 2 jalan yang terpaksa dilakukan bisa constitution deadlock tidak kunjung menemui titik terang.
"Pertama putusan setaranya juga putusan. Jadi kalau mau keluar dari polemik ini ada putusan, bukan memperbaiki, tapi setidaknya putusan yang bisa dirujuk selain dari putusan yang terakhir ini," kata Tobas.
"Atau jalan berikutnya, ini bukan pilihan yang baik, terpaksa kita melakukan amandemen UUD. Kita tidak punya agenda untuk mengutak-utik pasal 22e dan pasal 18 ayat 1. Sekali lagi ini bukan pilihan yang di hati enak gitu lho. Tapi sayangnya pilihannya cuma itu," ucap dia.
Karena itu, dia berharap ada pilihan lain yang muncul dari diskusi dan pengkajian mendalam terkait hal ini.