INFO NASIONAL – Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Alissa Wahid menyambut baik upaya meningkatkan payung hukum Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dari peraturan presiden (Perpres) menjadi undang-undang (UU) yang sedang bergulir di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Dia mendorong lewat UU, BPIP berperan sebagai lembaga yang mengorkestrasikan penguatan pemahaman nilai-nilai Pancasila secara lintas sektor.
“Memperkuat Pancasila itu memang harus ada badan yang mengurus, tinggal diorkestrasi dengan baik, didesain (maka BPIP) bisa membangun strategi kerja-kerja lintas kementerian dan daerah” kata Alisa kepada Tempo, Sabtu, 26 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pancasila sebagai ideologi dan nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia perlu terus diperkuat pemahamannya sebagai rujukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengingat, kata Alissa, persepsi masyarakat terhadap nilai-nilai maupun sistem yang berjalan di Indonesia didominasi penilaian negatif.
“Berdasarkan riset Nenilai tahun 2020 yang mempotret 10 nilai-nilai yang ada di masyarakat yang positif hanya 4 di antaranya gotong royong (melekat kuat) dan demokrasi. Sedangkan 6 nilai lainnya dinilai hambat kemajuan seperti birokrasi bertele-tele dan elitis,” ujar Alisa.
Ia memandang, kondisi itu mengemuka akibat tidak adanya upaya untuk membangun dan menjaga nilai-nilai yang menghidupi bangsa Indonesia."Maka itu perlu ada penguatan dan memang perlu ada UU mengenai ideologi Pancasila," kata Alissa.
Putri sulung Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu lantas menganalogikan BPIP bisa berperan seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam mengorkestrasikan apa yang menjadi tugas, pokok, dan fungsinya.
“Sifatnya mengkonsolidasikan, analoginya mirip Bappenas tapi Bappenas itu (mengenai) agenda pembangunan. BPIP berarti khusus Pancasila (sebagai ideologi) itu masuk di semua agenda-agenda negara,” ujar Alissa.
Harus Konkret
Ia pun mencontohkan, BPIP dapat mengorkestrasikan penguatan soal Pancasila ke dalam kurikukulum untuk lembaga pendidikan. Penguatan ini ditekankan tak hanya sekadar pengetahuan, tetapi harus konkret. Dengan kata lain, ucap Alissa, Pancasila harus jadi nilai-nilai kehidupan.
“Contoh di sekolah kalau (misalkan) dulu sampai ada 36 butir Pancasila itu tidak ada gunanya, tapi kalau digunakan sebagai alat ukur bahwa kehidupan bangsa kita mengapa belok ya, antara lain di dunia pendidikan banyak kekerasan, berarti (terkait) Pancasila sila kedua maka anak-anak belum beradab,” katanya.
“Maka dipikirkan strateginya, perubahan kurikulum yang seperti apa, agar nilai-nilai itu bisa masuk maka kegiatan belajarnya seperti apa,” ujar Alissa lagi.
Kemudian, melalui perangkat UU, Alissa menyarankan, BPIP juga menjangkau upaya-upaya transformasi bangsa ke arah lebih baik. Misalkan, tentang transformasi dari budaya koruptif ke budaya integritas. “Sampai benar berubah jangan (hanya) kegiatan penyuluhan,” ucap Alissa.
Dia juga mendorong BPIP bisa memiliki kewenangan menyisir peraturan daerah (perda) apakah sudah sesuai dengan prinsip ekonomi Pancasila. Sebab itu, Alissa turut merespons usulan mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie agar BPIP diberi kewenangan mengajukan judicial review atau uji materi ke MK maupun Mahkamah Agung (MA) apabila ada undang – undang atau peraturan yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. “Boleh-boleh saja asal kewenangan itu tak disalahgunakan,” katanya.
Bukan Alat Pukul
Dari sejumlah pandangannya mengenai urgensi pembentukan UU BPIP, Alissa tak lupa mengingatkan dan menekankan, agar kehadiran UU BPIP nantinya tak menjadi alat pukul atau untuk memberi label kepada pihak-pihak yang dianggap tidak pancasilais.
“Pancasila yang sebagai modelnya Orde Baru (Orba) digunakan justru melakukan indoktrinasi dan alat gebuk, sebagai alat, di bagian itu tentu kita tidak ingin. Jangan sampai RUU ini arahnya untuk melabelkan orang ebagai anti-Pancasila, anti-NKRI kemudian dikriminalisasi, dipidana,” katanya.
Secara materi, ujar Alissa melanjutkan, RUU BPIP tak boleh mencantumkan sesuatu hal tentang aspek-aspek yang dianggap tidak Pancasilais. Sebagai contoh terkait implentasi sila kedua dan kelima Pancasila.
“Bahwa kita semua, ingin jadi orang yang adil, karena di Pancasila itu kan dua, ada sistem yang adil yaitu sila kelima, lalu manusianya yang adil pada sila kedua. Itu kan tidak bisa dikriminalisasi apakah kita jadi orang adil atau tidak, bahaya kalau UU ini memberi otoritas kepada BPIP untuk menyetempel.”
Sementara, ketua PBNU lainnya, Mohamad Syafi’ Alielha mengatakan, Pancasila sebagai ideology negara merupakan kesepakatan para founding fathers atau para bapak pendiri bangsa Indonesia. Atas dasar itu, spirit dari lima sila Pancasila harus diwujudkan meski banyak tantangan yang harus diterabas.
“Terutama dari para elite-elitenya, misal sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sementara data ekonomi menunjukkan gini rasio kita masih tinggi, seminoritas orang menguasai ekonomi, garis kemiskninan, yang semacam itu, maka Pancasila itu menjadi komitmen kita seluruh nilainya diwujudkan dan dicontohkan para pemimpinnya,” kata Syafi’.
Lebih lanjut, pria yang akrab disapa Savic Ali ini mengingatkan, implementasi UU BPIP nantinya harus menjangkau semua aspek dan tak lagi fokus kepada penataran atau pemberian materi. Menurut dia, awalnya BPIP dilahirkan seiring merebaknya tantangan ideologi dari luar. Sebab, terungkap data adanya anak sekolah terkena pengaruh gagasan garis keras maupun radikalisme.
“Tapi sekarang kan tantangn ideologinya tidak begitu besar, tapi tantangan mewujudkan cita-cita Pancasila yang lain terkait keadilan sosial, kerakyatan, itu dianggap problem paling krusial. Kalau ma adil hukumnya harus baik, distribusi ekonominya harus baik, demokrasi harus dipastikan semua orang setara dan mendapatkan haknya,” ujar Syafi’. (*)