Namamu, Doa yang Kutuliskan Diam-diam

1 day ago 7
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online

Hari ini, anak perempuan saya meminta sesuatu yang sederhana—menuliskan namanya dalam tulisan Arab. Ia bilang ustadzah di madrasahnya memintanya membawa tulisan itu ke sekolah sore nanti. Saya tidak bertanya panjang lebar. Mungkin agar ia bisa belajar mengenali dan menuliskan namanya sendiri dalam huruf-huruf hijaiyah. Entahlah. Tapi saya tahu, tidak ada yang keliru dari permintaan itu. Memang sudah sepantasnya setiap anak mengenal namanya, mengenali dari mana ia berasal, dan suatu hari memahami ke mana ia diarahkan.

Saya tuliskan namanya perlahan, huruf demi huruf, dalam aksara Arab. Lalu, seperti ada sesuatu yang mengalir begitu saja dari dalam dada, saya tuliskan juga arti dari namanya: "Orang yang berakhlak, cerdas, merdeka." Tiga kata yang bagi orang lain barangkali hanya deretan sifat umum, klise, bisa ditemukan di brosur sekolah-sekolah unggulan. Tapi bagi saya, kata-kata itu adalah tali yang saya untai pelan-pelan, doa yang saya rajut menjadi jaring—semoga suatu saat cukup kuat menopang hidup anak saya ketika saya sudah tidak lagi bisa memapahnya.

Saya ingin menjelaskan arti nama itu padanya. Tapi suara saya tertahan. Bukan karena saya ragu, melainkan karena saya sadar: usia tujuh tahun terlalu dini untuk mengurai makna dari sebuah doa yang dititipkan diam-diam. Mungkin, sepuluh atau lima belas tahun lagi, ia akan bisa membaca tulisan ini. Dan jika Tuhan mengizinkan, saya ingin ia tahu bahwa dari semua yang bisa saya wariskan, namanyalah yang paling saya persiapkan dengan cermat. Sebab nama adalah doa yang menyamar dalam bentuk kata-kata.

Saya tahu, sebagai seorang ayah, doa saya belum tentu mujarab. Hati saya terlalu sering bergemuruh oleh hal-hal duniawi, pikiran saya terlalu penuh oleh keinginan-keinginan yang tak selalu jernih. Maka saya memilih untuk meminjam tangan yang lebih bening, hati yang lebih tenang, dan doa yang lebih dekat ke langit. Nama itu saya minta kepada Kiai Zuhri Zaini—seorang kiai yang saya hormati, bukan hanya karena ilmunya, tapi karena hidupnya yang sederhana dan tenang, seperti sumur dalam yang airnya tak pernah habis bagi siapa pun yang haus.

Di hadapan beliau, saya tidak membawa usulan arti nama, tidak pula daftar pilihan yang telah saya pertimbangkan berhari-hari sebelumnya. Saya hanya membawa satu hal: sebuah harapan yang saya lipat dalam dada, dan saya serahkan dengan penuh takzim. Tidak dengan suara, tapi dengan diam yang mengandung keyakinan: bahwa seorang kiai yang mengenal hidup lebih dalam dari saya, tahu apa yang paling pantas disematkan pada seorang anak yang baru akan memulai perjalanannya di dunia.

Saya tahu, meminta nama pada seorang kiai bisa terdengar kuno, bahkan jumud. Tapi bagi saya, itulah bentuk paling tulus dari kepasrahan seorang santri. Karena saya tidak hanya menginginkan nama yang indah, saya menginginkan doa yang terucap dari seseorang yang dekat dengan Tuhan. Nama yang ketika dilangitkan, tidak hanya bergema tapi juga dikabulkan.

Kiai Zuhri memberi nama yang artinya: berakhlak, cerdas, merdeka. Sederhana, tapi ketika saya mendengarnya pertama kali, saya seperti melihat pantulan isi kepala saya sendiri. Seolah beliau tahu harapan saya tanpa saya perlu menjelaskan panjang lebar.

Berakhlak. Itu harapan pertama saya. Bukan sekadar tahu sopan santun, tetapi punya hati yang tahu malu ketika berbuat salah. Yang tahu caranya berkata maaf dan terima kasih tanpa merasa harga dirinya turun. Yang tahu bahwa menundukkan kepala tidak selalu berarti kalah, dan memberi jalan bukan berarti mundur.

Akhlak adalah akar—tak terlihat, tak dipuji, tapi tanpanya tak ada pohon yang bisa berdiri. Ia sumber dari segala kebaikan: dari laku yang halus, dari kata-kata yang dijaga, dari niat yang dibersihkan. Nabi Muhammad tidak diutus membawa kekuasaan, tapi menyempurnakan akhlak. Maka saya ingin anak saya tumbuh menjadi seseorang yang kehadirannya menenangkan. Yang tidak menyakiti orang lain, bahkan ketika ia sendiri sedang terluka.

Akhlak bukan sekadar aturan, tapi kepekaan hati untuk tetap lurus ketika tidak ada yang melihat. Itulah akar yang saya harapkan tumbuh kuat dalam diri anak saya. Saya tidak ingin ia menjadi pintar tapi kasar, sukses tapi arogan, atau berhasil tapi rapuh batinnya. Karena saya percaya, tanpa akhlak, ilmu menjadi tajam tapi melukai; keberhasilan menjadi tinggi tapi menjauhkan. Maka biarlah ia tumbuh pelan-pelan, asal akarnya kuat: akhlaknya utuh, dan hatinya jernih.

Cerdas. Tapi bukan hanya cerdas di atas kertas. Saya ingin ia cerdas dalam menentukan pilihan—karena hidup tidak selalu soal benar atau salah, tapi sering soal mana yang paling sedikit membawa mudarat. Cerdas menyadari bahwa wajah dan nilai hanyalah permukaan. Saya ingin ia punya keberanian untuk mempertanyakan, tapi juga kelembutan untuk memahami. Karena iman dan akal tidak saling meniadakan. Yang satu menjaga arah, yang lain mencari terang.

Cerdas dalam hidup artinya ia tahu kapan harus maju dan kapan harus mundur. Ia tidak mudah terburu-buru, tapi juga tidak terlalu lama diam. Ia tahu bahwa hidup ini sering tidak adil, dan karena itu ia harus punya daya lenting. Kesabaran bukan berarti pasrah, tapi kemampuan untuk berdiri kembali dengan kepala tegak meski sempat jatuh. Bukan untuk membalas, tapi untuk bertahan—karena yang kuat bukanlah yang menang, tapi yang tetap baik bahkan saat dirugikan.

Merdeka. Itu harapan yang paling sulit. Karena dunia hari ini terlalu lihai menciptakan jebakan yang tidak terlihat—keinginan yang disulap menjadi kebutuhan, dan standar hidup yang ditanamkan diam-diam lewat iklan dan layar. Saya ingin anak saya tumbuh tanpa diperbudak oleh keinginan yang tidak ia mengerti. Tidak hidup dalam bayang-bayang ekspektasi orang lain. Karena hidup yang digerakkan oleh penilaian orang, cepat atau lambat akan terasa seperti penjara yang tak berbentuk.

Merdeka bukan berarti bebas tanpa batas. Tapi bebas dalam berpikir, dalam bermimpi, dan dalam...

Read Entire Article