REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 tercatat sebesar 5,12 persen secara tahunan (yoy), sedikit lebih tinggi dibanding kuartal sebelumnya. Menurut Chief Indonesia and India Economist HSBC Global Research Pranjul Bhandari, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II ditopang konsumsi kelompok pekerja sektor informal yang semakin aktif belanja seiring meredanya inflasi.
Pranjul menjelaskan, peningkatan konsumsi sektor informal menjadi kunci stabilitas pertumbuhan pada kuartal tersebut. Ia menyebutkan bahwa saat data PDB kuartal II diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), angka 5,1 persen tidak mengejutkan pihaknya karena sektor informal memang menunjukkan perbaikan.
“Banyak yang bertanya, apakah ekonomi Indonesia benar-benar meningkat? Jawaban saya, ya, jika melihat sektor informal dan konsumen massal, kondisinya membaik dibanding tahun lalu,” kata Pranjul dalam media briefing secara daring dari Jakarta, Jumat (8/8/2025).
Ia memaparkan bahwa pekerja sektor informal di Indonesia umumnya terkait dengan aktivitas pertanian dan usaha kecil. Kelompok ini mencakup sekitar 60 persen tenaga kerja nasional dan menyumbang 55 persen dari total konsumsi domestik.
Menurut riset HSBC, konsumsi sektor informal cenderung meningkat saat inflasi menurun, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan harga. Selain itu, stimulus fiskal dan membaiknya produksi pertanian turut mendorong daya beli kelompok ini.
Sebaliknya, konsumsi dari pekerja formal justru menunjukkan pelemahan. Pekerja formal yang bekerja di perusahaan besar dan memiliki keamanan kerja lebih tinggi hanya mewakili 40 persen tenaga kerja, namun menyumbang 45 persen konsumsi nasional.
“Ini (sektor informal) memberikan kestabilan pada konsumsi, meski konsumsi kelas atas lebih lemah, yang terlihat dari masih lemahnya penjualan mobil penumpang, transaksi kartu kredit, dan impor barang tahan lama. Namun konsumsi massal membaik, dan inilah yang menjaga angka PDB tetap kuat pada kuartal II di akhir Juni,” ujar Pranjul.
Meski demikian, Pranjul menilai pertumbuhan tersebut belum cukup karena kesenjangan output (output gap) Indonesia masih negatif. HSBC mencatat bahwa PDB saat ini masih sekitar 7,5 persen di bawah tren sebelum pandemi.
“Kita butuh pertumbuhan lebih tinggi dalam jangka panjang untuk menutup gap ini. Pertumbuhan ekonomi kuartal II adalah awal yang baik, tetapi kita butuh angka yang lebih tinggi lagi pada kuartal-kuartal berikutnya,” ucapnya.
Untuk menjawab tantangan itu, menurut Pranjul, investasi korporasi perlu ditingkatkan agar kapasitas produksi bertambah dan lapangan kerja dengan upah tinggi bisa tercipta.
“Saat ini, investasi korporasi belum tinggi. Banyak perusahaan yang lebih memilih menabung daripada berinvestasi. Pertanyaannya, apa yang dapat mendorong mereka untuk berinvestasi? Ini menjadi tantangan, tidak hanya bagi Indonesia, tapi bagi banyak negara lain,” ujarnya.
Ia menambahkan, ketidakpastian tarif, termasuk tarif tinggi Amerika Serikat terhadap negara-negara ASEAN, bisa menekan pertumbuhan jangka pendek. Namun dalam jangka menengah, situasi ini menjadi peluang jika Indonesia mampu menarik investor melalui reformasi dan peningkatan daya saing.
Dengan perbaikan infrastruktur, perluasan tenaga kerja terampil, serta kemudahan berusaha, Pranjul menilai Indonesia bisa memperbesar skala ekspor manufaktur seperti tekstil, pakaian, alas kaki, dan furnitur. Hal ini juga berpotensi mendatangkan investasi asing langsung dan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam dua hingga tiga tahun ke depan.
sumber : Antara