
Kabar duka datang dari Garut, Jawa Barat. Pada 14 Juli 2025, seorang siswa SMA Negeri 6 Garut berinisial PN ditemukan meninggal dunia di rumahnya. Dugaan sementara menyebutkan bahwa ia mengakhiri hidupnya sendiri setelah mengalami tekanan berat akibat bullying, baik dari teman sebaya maupun perlakuan menyakitkan dari oknum guru di sekolah. Tragedi ini mengguncang publik dan menyisakan pertanyaan besar: bagaimana bisa sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman justru menjadi sumber luka mendalam?
Fenomena ini bukan kasus tunggal. Ia mencerminkan kegagalan kolektif sistem pendidikan dalam membangun lingkungan yang sehat secara mental dan sosial. Ketika bullying dibiarkan terjadi, bahkan dilanggengkan melalui sikap diam para pendidik, maka sekolah kehilangan fungsinya sebagai tempat pertumbuhan dan perlindungan.
Sekolah Tak Lagi Menjadi Tempat Aman
Selama ini kita mengenal sekolah sebagai “rumah kedua” bagi anak-anak. Namun, ketika dinding kelas menjadi saksi cemoohan, ketika lorong-lorong sekolah menjadi tempat ancaman, dan ketika ruang guru justru membungkam suara korban, maka narasi “rumah kedua” hanya tinggal slogan kosong. Bullying tidak hanya terjadi secara fisik, tetapi juga secara verbal dan psikologis yang seringkali lebih sulit dikenali dan lebih dalam lukanya.
Dalam kasus di Garut, sang korban disebut-sebut sempat dikucilkan, direndahkan, dan bahkan dilabeli “ABK” atau anak berkebutuhan khusus oleh gurunya sendiri di depan kelas. Ini bukan sekadar bullying biasa; ini adalah kekerasan struktural yang dibiarkan berkembang di lingkungan yang seharusnya beradab. Ketika guru dan teman sebaya sama-sama gagal menjadi pelindung, maka korban benar-benar sendirian di tengah hiruk pikuk sistem yang abai.
Sayangnya, banyak sekolah masih menutup mata terhadap kasus-kasus seperti ini. Laporan bullying seringkali dianggap sepele, atau lebih buruk, justru menyalahkan korban karena dianggap lemah. Budaya menyalahkan korban ini yang harus dihentikan, karena ia memperparah luka dan menjerumuskan korban dalam keputusasaan.
Guru: Pengajar atau Penonton?
Guru idealnya adalah figur dewasa yang tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter, melindungi yang lemah, dan menjadi teladan moral. Namun realita di lapangan kerap bertolak belakang. Dalam kasus ini, ada dugaan guru turut menjadi pelaku verbal abuse yang menambah tekanan mental korban. Ucapan bernada menghina, candaan merendahkan, atau pembiaran terhadap bullying antar siswa adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah pendidikan.
Tentu tidak semua guru bersalah, namun kejadian seperti ini menunjukkan ada yang keliru dalam sistem. Minimnya pelatihan tentang kesehatan mental, empati, dan penanganan konflik membuat banyak guru gagap menghadapi dinamika psiko-sosial murid. Alih-alih menjadi penengah, tak jarang guru justru menjadi pemicu atau menutup mata demi “menjaga nama baik sekolah”.
Sudah saatnya institusi pendidikan mengevaluasi peran dan kapasitas tenaga pengajarnya. Guru bukan sekadar pengajar mata pelajaran, tetapi juga penjaga ruang aman bagi anak-anak. Tanpa keberpihakan terhadap korban, maka sekolah hanyalah tempat reproduksi kekuasaan, bukan tempat pertumbuhan nilai.
Ketika Nilai Lebih Diutamakan daripada Kesehatan Mental
Salah satu alasan yang dikaitkan dengan tekanan korban adalah karena ia tidak naik kelas akibat nilai yang rendah. Namun kita patut bertanya: bagaimana seorang anak bisa belajar dengan baik jika setiap harinya ia bergulat dengan tekanan mental, pelecehan verbal, dan isolasi sosial? Sistem pendidikan kita masih sangat akademik-sentris dan kerap abai terhadap kondisi psikologis siswa.
Tidak ada intervensi profesional, tidak ada ruang pemulihan, bahkan tidak ada kebijakan afirmatif untuk mendukung siswa dengan trauma. Ini menunjukkan bahwa kita masih gagal melihat anak sebagai manusia utuh, bukan sekadar pemilik rapor. Ketika satu nyawa hilang karena sistem yang kaku dan tidak manusiawi, maka sudah waktunya kita meninjau ulang prioritas pendidikan kita.
Sekolah harus menjadi tempat yang tidak hanya mendidik otak, tetapi juga menjaga jiwa. Selama nilai masih menjadi satu-satunya ukuran, dan empati dikesampingkan, maka tragedi serupa bisa terjadi lagi, hanya tinggal menunggu waktu.
Menutup Luka, Memulai Kesadaran
Tragedi di Garut bukan yang pertama, dan bukan pula yang terakhir jika kita terus mengabaikan akar persoalan. Perubahan harus dimulai dari kebijakan hingga budaya sekolah. Dibutuhkan pelatihan empati bagi guru, penyediaan konselor profesional di setiap sekolah, serta keberanian untuk membuka ruang aman bagi siswa bersuara. Pendidikan karakter dan kesehatan mental tidak boleh lagi menjadi pelengkap, tetapi inti dari sistem pendidikan kita.
Sudah waktunya kita berhenti bertanya, “kenapa dia melakukan itu?” dan mulai bertanya, “apa yang gagal kita lakukan untuk mencegahnya?” Karena ketika seorang anak lebih merasa aman di keheningan abadi daripada di ruang kelas yang penuh cemooh, maka sistem pendidikan kita sedang mengalami krisis yang mendalam.