
KODING telah menjadi literasi baru di era industri 4.0 dan 5.0, ketika teknologi dan manusia dituntut untuk bekerja sama. Belajar koding membantu kita memahami cara kerja teknologi dan bagaimana mengendalikannya. Oleh karena itu, kemampuan memahami koding kini menjadi sebuah kebutuhan.
Pemerintah saat ini mendorong pembelajaran koding sejak dini di setiap jenjang pendidikan. Namun, masih banyak yang berpikir bahwa belajar koding berarti harus menyalakan komputer, terhubung ke internet, duduk di depan layar, mempelajari bahasa pemrograman seperti Python, Java, ASP, atau HTML, dan memahami cara kerja perangkat lunak.
Pandangan sempit tentang koding kerap menimbulkan pesimisme terhadap kebijakan penguatan literasi digital di sekolah. Tantangan utama datang dari keterbatasan infrastruktur: minimnya akses listrik, internet, serta perangkat digital. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip Katadata menunjukkan bahwa pada 2022, kepemilikan komputer di sekolah masih sangat rendah: SD hanya 5,31%, SMP 27,1%, SMA 39,4%, dan SMK 41,45%. Akses internet juga belum merata. Sekolah-sekolah di wilayah terluar, terutama di Indonesia bagian timur, masih banyak yang belum memiliki koneksi internet yang memadai. Mayoritas akses internet tinggi hanya ditemui di Pulau Jawa dan Sumatra.
Meskipun demikian, keterbatasan infrastruktur teknologi bukan berarti siswa tidak bisa belajar. Banyak cara dapat dilakukan agar anak-anak Indonesia tetap bisa memahami konsep koding dan dunia digital, di mana pun mereka berada. Karena, pada dasarnya koding bukan hanya soal komputer dan menulis kode, melainkan soal melatih cara berpikir kritis dan terstruktur.
MENGENAL KODING DAN COMPUTATIONAL THINKING
McConnell (2004) menjelaskan koding sebagai proses menerjemahkan keinginan manusia ke dalam format yang bisa dipahami komputer melalui bahasa pemrograman. Dengan kata lain, koding adalah proses memberikan instruksi kepada komputer agar menjalankan tugas tertentu.
Dasar utama dalam belajar koding ialah kemampuan berpikir logis dan keterampilan memecahkan masalah secara sistematis. Jeanette Wing (2006) menyebut bahwa koding merupakan bagian dari computational thinking, yakni cara berpikir untuk menyelesaikan masalah layaknya seorang ilmuwan komputer. Artinya, berpikir komputasional tidak selalu identik dengan penggunaan komputer, melainkan lebih pada bagaimana seseorang mampu memecahkan masalah secara logis, sistematis, dan efisien—seperti cara kerja komputer itu sendiri.
Dengan demikian, pembelajaran koding sebaiknya dimulai dari penguatan pola pikir, bukan langsung pada bahasa pemrograman. Kemampuan berpikir komputasional inilah yang bisa dikembangkan tanpa bergantung pada perangkat teknologi. Jean Greyling (2023) menegaskan bahwa siswa tetap bisa memahami konsep computational thinking dan algoritma, bahkan tanpa komputer atau internet.
Strategi pembelajaran koding perlu disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif siswa. Di jenjang SD dan SMP, misalnya, guru dapat mengenalkan dasar-dasar berpikir komputasional dengan metode unplugged. Dengan pendekatan ini, siswa belajar melalui cara-cara konkret, visual, dan kinestetik—bermain, menyusun, dan bergerak—yang secara alami mengasah logika dan kreativitas mereka.
KODING TANPA KOMPUTER: METODE UNPLUGGED
Unplugged coding atau koding tanpa komputer adalah metode untuk mengajarkan konsep dasar pemrograman dan berpikir komputasional tanpa menggunakan komputer, tablet, atau internet. Haris (2018) menyebut, metode ini efektif dalam mengenalkan prinsip dasar seperti algoritma, pengulangan, dan percabangan.
Rahmawati dan Agustin (2024) menjelaskan bahwa pembelajaran unplugged sangat bermanfaat, terutama dalam situasi keterbatasan perangkat digital. Tak hanya itu, metode ini juga meningkatkan kemampuan kognitif dan pemecahan masalah sejak dini. Musfiati (2023) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa anak usia 6–7 tahun yang diajarkan dengan metode unplugged menunjukkan peningkatan signifikan dalam kemampuan mengidentifikasi masalah, merumuskan solusi, dan menerapkannya secara efektif.
Ada tiga manfaat utama dari metode ini. Pertama, melatih kemampuan berpikir abstrak dan sistematis. Siswa tetap dapat mempelajari konsep computational thinking tanpa perangkat digital, dengan berlatih mengenali pola, menyusun logika, dan memecahkan masalah. Kedua, meningkatkan kerja sama tim. Aktivitas unplugged umumnya dilakukan secara berkelompok sehingga melatih keterampilan sosial, komunikasi, dan kolaborasi. Ketiga, metode ini menyenangkan sekaligus terjangkau. Pembelajaran dilakukan melalui permainan dan aktivitas fisik langsung. Guru dapat menggunakan media sederhana dari lingkungan sekitar seperti kain, kardus, kertas, atau lantai kelas. Bisa juga dengan tangible kit yang digunakan secara bergantian.
Greyling (2022) menekankan bahwa penggunaan alat fisik dalam metode ini memberikan pengalaman nyata yang tidak bergantung pada teknologi, sekaligus memperkenalkan konsep dasar komputasi secara inklusif dan kontekstual.
MELATIH BERPIKIR KOMPUTASIONAL DENGAN TANGIBLE KIT
Tangible kit adalah alat bantu fisik yang dirancang untuk mengajarkan prinsip dasar pemrograman secara interaktif, tanpa komputer. Tangible berarti ‘dapat disentuh’, dan tangible kit merujuk pada perangkat fisik yang dirancang untuk membantu siswa memahami prinsip-prinsip dasar pemrograman tanpa menggunakan komputer.
Kit ini umumnya terdiri dari papan grid kotak-kotak, serta token atau kepingan yang mewakili instruksi seperti maju, mundur, belok kanan, belok kiri, ulangi, dan sebagainya. Dalam proses belajar, siswa menyusun urutan instruksi (algoritma) agar karakter dapat bergerak di dalam papan. Mereka belajar mengatur strategi, mengenali pola, menyusun logika perintah, memperbaiki kesalahan (debugging), dan memahami struktur seperti loopdan conditional (jika–maka).
Di Sekolah Sukma Bangsa, guru dilatih untuk mengembangkan keterampilan berpikir komputasional serta mengelola aktivitas tangible kit ke dalam pembelajaran. Salah satu kit yang digunakan ialah Rangers Tangible Kit, dikembangkan oleh Prof Jean Greyling dari Nelson Mandela University. Integrasi kit ini ke berbagai mata pelajaran membantu siswa memahami konsep abstrak seperti algoritma atau loop secara menyenangkan dan interaktif. Guru juga dapat menyesuaikan dengan gaya belajar siswa, termasuk mereka yang memiliki kecenderungan belajar visual dan kinestetik.
Selain digunakan dalam pembelajaran reguler, Rangers Tangible Kit juga bisa dimanfaatkan dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti klub koding. Hal ini membantu siswa memahami alur logika sebelum beranjak ke tahap pemrograman yang sesungguhnya. Dengan pendekatan ini, sekolah tidak sekadar mengajarkan teknologi, tapi juga membangun pola pikir kritis yang akan membekali anak untuk masa depan digital di tengah keterbatasan inftrastruktur.