
ISU kekurangan dokter seakan sudah menjadi ratapan yang tak kunjung berakhir di negeri tercinta ini sejak puluhan tahun. Memang tidak sedikit puskesmas sampai saat ini tidak mempunyai tenaga dokter dan bebeberapa tenaga kesehatan lainnya, serta masih banyak juga rumah sakit umum daerah (RSUD) yang belum mempunyai beberapa dokter spesialis. Padahal, sebagian besar dari 144 fakultas kedokteran yang ada sekarang ini telah menghasilkan sekitar 12 ribu-13 ribu dokter baru.
Ironisnya, meskipun pertambahan dokter demikian banyak, setiap tahun masih ada 423 puskesmas dari 10.416 puskesmas yang ada (4.06%) tidak mempunyai tenaga dokter. Setiap kali pergantian pemerintahan, pemimpin negara, termasuk pergantian menteri kesehatan, tentu kita berharap hal ini akan dapat diatasi.
Dulu penulis masih ingat pernah menjadi dokter inpres (instruksi presiden), tak ubahnya seperti program wajib kerja dokter yang diawali sekitar akhir tahun 70’an dan awal tahun 80 an. Ketika itu, ratusan puskesmas di seluruh Tanah Air dapat segera terisi dokter karena dokter yang bersedia bertugas ke puskesmas dengan masa kerja minimal tuga tahun di luar Jawa dan lima tahun di pulau Jawa akan diberikan rewards berupa prioritas untuk melanjutkan pendidikan berbagai spesialisasi di institusi pendidikan kedokteran di Indonesia sepanjang memenuhi persyaratan.
Dokter yang akan berangkat ke puskesmas langsung diberikan biaya perjalanan, kemudian sampai di daerah kerjanya dokter tersebut menerima gaji dari pemerintah. Namun, sayangnya situasi seperti ini tidak ada lagi sekarang. Dokter yang baru lulus saat ini dipersilakan mencari pekerjaan sendiri apakah di puskesmas, RSUD, ataupun klinik swasta. Peluang untuk diangkat menjadi ASN sangat kecil sekali bergantung pada kebutuhan daerah. Sejatinya, dokter harusnya menjadi tenaga profesional yang strategis yang dapat berkontribusi untuk menyehatkan bangsa ini.
PERMASALAHAN DISTRIBUSI
Saat ini, menurut data dari Konsil Kedokteran Indonesia, jumlah dokter yang terregistrasi di Indonesia sebanyak 168.487 dokter umum dan 53.543 dokter spesialis (38 jenis spesialisasi). Berarti jumlah dokter umum, dokter spesialis-subspesialis saat ini sebanyak 222.030 orang. Angka itu belum termasuk dokter gigi (43.947) dan dokter gigi spesialis (5814).
Sering kali didengungkan bahwa rasio yang direkomendasikan WHO ialah 1 dokter untuk 1.000 penduduk. Nah, bila benar demikian, dengan penduduk sekitar 280 juta jiwa, kita minimal mempunyai 280 ribu dokter yang berarti masih kekurangan sekitar 60 ribu dokter lagi. Mungkin untuk merespons keadaan inilah tak heran mengapa Presiden Prabowo dalam salah satu pidatonya menyampaikan bahwa kita perlu mendirikan 300 fakultas kedokteran (FK) baru untuk mengatasi kekurangan dokter di negeri ini. Pertanyaannya: apakah dengan menambah FK baru akan merupakan solusi untuk mengatasi masalah kekurangan dokter? Jawabannya belum tentu.
Permasalahan sesungguhnya saat ini ialah penyebaran dokter yang tidak merata atau masalah distribusi (maladistribusi), bukan masalah produksi. Sebanyak 70% dokter spesialis-subspesialis berada di pulau Jawa, sedangkan yang tersebar di luar Jawa hanya sekitar 30% dari sekitar 53 ribu dokter spesialis-subspesialis.
Permasalahan ini memang tidak mudah untuk diatasi karena bergantung pada kebijakan beberapa pemangku kepentingan: Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi; Kementerian kesehatan; dan Kementerian Dalam Negeri karena tidak sedikit rumah sakit umum di daerah (RSUD) bergantung pada kebijakan dari pemerintah daerah (gubernur dan bupati).
Dengan kata lain, tidak ada kesesuaian antara supply and demand. Belum ada pemetaan (mapping) dan peta jalan yang jelas serta terperinci terkait dengan kebutuhan dokter dan dokter spesialis di tiap-tiap daerah merupakan salah satu kendala yang perlu diatasi segera.
LANTAS, BAGAIMANA SEBAIKNYA?
Untuk mengatasi kekurangan dokter, saat ini penyelesaiannya bukanlah dengan menambah banyak pendirian fakultas kedokteran (FK) baru. Menambah kuota penerimaan mahasiswa di tiap-tiap fakultas kedokteran yang ada lebih efektif walaupun dalam waktu bersamaan diperlukan peningkatan jumlah dosen dan fasilitas. Pendirian FK baru tidak otomatis dapat segera menambah produksi dokter karena masih diperlukan waktu 6-7 tahun lagi untuk menghasilkan dokter. Dalam 6-7 tahun ke depan, bukan tidak mungkin kita akan mengalami over supply dokter.
Akhirnya, pemerintah melalui kementerian terkait harus dapat memastikan bahwa semua dokter di negeri ini mendapat pekerjaan yang layak dengan pendistribusian yang merata. Tentu, harus mempersiapkan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai agar mereka dapat bekerja maksimal secara profesional. Sangat diperlukan penyusunan strategi sumber daya manusia kesehatan, khususnya dokter yang realistis untuk menjawab tantangan masalah kesehatan global di masa depan. Semoga